BENPARK - Sudah tahu tentang Labi-labi Moncong Babi? Kura-kura unik ini cukup digandrungi oleh pecinta reptil di Indonesia. Tapi, tahukah kamu kalau spesies ini kini masuk dalam daftar merah IUCN sebagai hewan ‘terancam punah’? Fakta ini cukup mencengangkan, terutama karena banyak yang memeliharanya dengan penuh antusias. Lalu, sebenarnya apa yang membuat Labi-labi Moncong Babi semakin langka di alam liar Indonesia? Penasaran? Simak penjelasannya di sini.
Sekilas mengenai Labi-labi Moncong Babi
Sebelum kita mendalami masalah kelangkaannya, yuk kenalan dulu dengan Labi-labi Moncong Babi! Reptil unik ini punya nama latin Carettochelys insculpta dan dikenal di dunia internasional dengan berbagai julukan seperti Pig-nosed Turtle atau Fly River Turtle.
Ciri khasnya? Hidungnya yang mirip hidung babi! Selain itu, Labi-labi Moncong Babi adalah hewan omnivora yang doyan makan berbagai jenis makanan, mulai dari buah, daun, moluska, krustasea, ikan, hingga serangga. Sebagai kura-kura full-aquatic, ia lebih suka menghabiskan waktu di dalam air. Menarik, kan?
Masyarakat mengonsumsi telurnya
Yuk, kita balik lagi ke topik awal. Berdasarkan informasi dari situs WWF, Labi-labi Moncong Babi menghadapi ancaman serius di habitat aslinya, terutama di beberapa kampung di Kabupaten Asmat. Salah satu ancaman utamanya adalah perburuan.
Meski konsumsi telur Labi-labi Moncong Babi sudah menjadi tradisi turun-temurun dalam jumlah terbatas, meningkatnya permintaan pasar dan tingginya harga telur ini telah mengubah cara pandang masyarakat. Kini, Labi-labi Moncong Babi lebih sering dipandang sebagai komoditas bernilai tinggi daripada sekadar sumber makanan. Dampaknya? Kelestariannya kian terancam.
Tukiknya banyak dijual juga
WWF Indonesia juga mengungkap fakta memilukan, tukik Labi-labi Moncong Babi sering dijadikan komoditas jual-beli. Prosesnya dimulai dari titik pengepul di tingkat kabupaten, di mana masyarakat lokal dilibatkan untuk berburu telur, membelinya, lalu menetaskannya di penangkaran.
Menariknya, menjual tukik ternyata lebih menguntungkan dibandingkan telur. Setelah menetas, tukik-tukik ini dikemas berkelompok dalam wadah dan diselundupkan melalui jalur udara ke pasar internasional, terutama ke Hong Kong dan Taiwan. Jauh juga, ya?
Tingginya permintaan dari kedua negara ini didorong oleh klaim bahwa Labi-labi Moncong Babi berkhasiat sebagai obat kuat dan bahan kosmetik kecantikan. Sayangnya, hingga kini belum ada penelitian ilmiah yang membuktikan klaim tersebut, meskipun pengakuan seperti ini sering muncul, termasuk dari tersangka penyelundupan yang tertangkap Oktober tahun lalu.
Tukiknya banyak dijual juga
Dalam setahun terakhir, penyelundupan tukik Labi-labi Moncong Babi yang berhasil digagalkan sudah mencapai ribuan. Sebagian besar tukik yang diselamatkan dapat dikembalikan ke habitat aslinya di selatan Papua, meskipun ada juga yang tidak berhasil diselamatkan.
Kasus terbaru terjadi di Bandara Mopah, Merauke, pada 19 Januari 2019. Petugas bandara berhasil menggagalkan upaya penyelundupan dengan menyita sebuah koper berisi tukik Labi-labi Moncong Babi. Namun, ada kejadian mengejutkan, barang bukti tersebut justru hilang akibat kelalaian petugas. Wah, kok bisa hilang, ya? Ada apa di balik insiden ini?
Kesimpulan
Meski judulnya bertanya ‘gara-gara siapa?’, sebenarnya penyebab utama kelangkaan Labi-labi Moncong Babi bukanlah siapa orangnya, melainkan tingginya permintaan. Permintaan ini datang dari berbagai sisi, mulai dari pasar internasional hingga tradisi turun-temurun.
Namun, ada harapan! Risiko kepunahan ini bisa diminimalkan melalui edukasi. Itulah sebabnya BENPARK berkomitmen untuk terus mengedukasi masyarakat lewat berbagai media yang tersedia. Setiap langkah kecil bisa berdampak besar, loh! Kamu setuju? Kalau iya, yuk bantu sebarkan konten ini ke teman-temanmu. Bersama kita bisa mendukung pelestarian Labi-labi Moncong Babi.